7 Mitos Cloud Security di Indonesia yang Perlu Anda Ketahui

7 Mitos Keamanan Cloud yang Sering Timbul di Indonesia

Seiring meningkatnya adopsi cloud computing di Indonesia, muncul berbagai mitos soal keamanan cloud yang membuat banyak perusahaan masih ragu. Padahal, jika dikelola dengan strategi dan kontrol yang tepat, cloud bisa menjadi fondasi keamanan yang lebih kuat daripada sistem on-premises.

 

Artikel ini membongkar 7 mitos keamanan cloud yang paling sering muncul di Indonesia, lengkap dengan fakta, tantangan, dan solusi agar perusahaan Anda bisa memanfaatkan cloud secara lebih aman.

 

Mitos: Lebih Aman Pakai On-Premises 

Pada dasarnya keamanan antara sistem on-premises dan cloud computing memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dalam memilih mana sistem yang terbaik bergantung pada kebutuhan spesifik organisasi, tingkat sensitivitas data, anggaran, syarat kepatuhan regulasi, dan kebutuhan skalabilitas yang dikarenakan bisnis semakin berkembang.

 

Jika perusahaan Anda memilih dan menyimpan data dengan tingkat sensiitivitas tinggi dan wajib memenuhi syarat kepatuhan ketat, maka on-premises akan lebih cocok. Sedangkan bagi perusahaan yang membutuhkan skalabilitas, fleksibilitas, dan efisiensi biaya maka cloud computing bisa menjadi pilihan yang lebih baik. Namun banyak yang beranggapan bahwa menyimpan data di infrastruktur sendiri (on-premises) otomatis lebih aman dibandingkan cloud.

 

Faktanya:

Keamanan di cloud mengikuti shared responsibility model—vendor cloud menjaga keamanan “of the cloud” (infrastruktur), pelanggan mengamankan “in the cloud” (OS, aplikasi, data, konfigurasi jaringan). Dengan kontrol yang tepat (IAM, enkripsi, mikrosegmentasi, posture management), tingkat keamanan bisa melampaui on-prem. AWS, misalnya, secara eksplisit menegaskan porsi tanggung jawab pelanggan untuk OS, patching, aplikasi, dan kontrol jaringan. 

 

Keunggulan cloud ada pada security by design skala hyperscale (HSM, KMS, Nitro/TPM, logging terpusat) plus otomatisasi compliance—namun hasil akhirnya sangat ditentukan security hygiene internal (hardening, patching, prinsip least privilege, dan kontrol. 

 

Mitos: Data Cloud Harus 100% Disimpan di Indonesia

Sebelum berlakunya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), Indonesia belum memiliki undang-undang yang komperhensif mengenai privasi atau perlindungan data pribadi. Hal mengenai perlindungan data pribadi ini diatur secara terpisah dalam berbagai peraturan sektoral, peraturan berbasis isu tertentu atau peraturan berdasarkan isu tertentu yang kemudian dijadikan pertauran.

 

Kemudian pemerintah mengeluarkan paket hukum yang dinamakan UU Perlindungan Data Pribadi No. 27/2022, berlaku penuh sejak 17 Oktober 2024. Isi dari undang-undang ini mewajibkan pengendali/pemroses data untuk menerapkan langkah teknis dan operasional untuk mengamankan data pribadi. Aturan lokalisasi data bervariasi: operator publik tunduk pada ketentuan berbeda dari operator privat (GR 71/2019). Banyak sektor boleh menyimpan atau mereplikasi data lintas negara selama memenuhi persyaratan hukum, kontraktual, dan cross-border safeguards.

 

Faktanya:
UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP No. 27/2022) memang mewajibkan perlindungan ketat untuk data pribadi, namun tidak semua data harus disimpan di Indonesia. Hanya data strategis seperti militer, energi, atau ketahanan nasional yang wajib berada di pusat data lokal.

 

Artinya, perusahaan masih bisa memanfaatkan cross-border cloud selama memenuhi persyaratan hukum, kontrak, dan regulasi yang berlaku.

 

Mitos: Compliance = Pasti Aman

Kepatuhan (PDP, OJK, ISO 27001, SOC 2) adalah baseline, bukan silver bullet. Jadi, lengkapnya seluruh compliance tidak menjamin bahwa sistem cloud yang Anda gunakan terjamin keamanannya.

 

Berdasarkan indeks Kesiapan Siber 2025 dari Cisco menunjukkan proporsi “Mature” di Indonesia baru 9%, sementara sisanya berada di level Formative/Beginner— ini menandakan adanya kesenjangan antara “punya kontrol/sertifikasi” dan “ketahanan nyata terhadap ancaman modern” (mis-config cloud, identitas yang bocor, serangan AI-assisted).

 

Faktanya:
Kepatuhan adalah baseline, bukan jaminan. Banyak insiden keamanan justru terjadi karena kesalahan konfigurasi, kredensial bocor, atau akses berlebih yang tidak terkendali. Perusahaan perlu menerapkan strategi proaktif seperti zero trust, monitoring berlapis, dan edukasi karyawan. Compliance penting, tapi tidak boleh berhenti di situ. 

 

Mitos: Indonesia Bukan Target Ransomware

Lanskap ancaman keamanan cloud pada tahun 2024/2025 menempatkan ransomware sebagai ancaman teratas di lintas lingkungan (on-premises, hybrid ataupun multi-cloud). Ancaman ransomware ini dapat mengakibatkan konsekuensi serius yang dapat menyerang industri lintas sektor, mulai dari kehilangan data dalam jumlah besar dan tersebarnya informasi sensitif ke publik.

 

Ada keyakinan bahwa serangan ransomware lebih banyak menargetkan negara maju.

 

Faktanya:

Riset yang dilakukan oleh SOCRadar mengidentifikasi 130 laporan serangan ransomware, yang dimana Indonesia sebagai target utama dalam 24 kasus, dan menjadi negara paling terdampak dalam 106 insiden global lainnya. Sektor industri manufaktur menjadi peringkat teratas dari total laporan serangan ransomware, kemudian disusul oleh sektor jasa profesional, ilmiah, dan teknis sementara pada sektor informasi di peringkat terakhir. 

 

Backup data yang kuat, segmentasi identitas, dan kontrol akses di lingkungan cloud menjadi kunci pertahanan terhadap ransomware.

 

Mitos: Enkripsi Sudah Cukup untuk Keamanan

Proses enkripsi adalah salah satu cara untuk mengubah data yang berisi informasi menjadi bentuk yang tidak dapat dibaca atau dipahami oleh pihak yang tidak berwenang. Proses ini bertujuan untuk melindungi dari akses, penggunaan, atau penyalinan yang tidak sah menurut sistem, dengan mengubah data asli (plaintext) menjadi chipertext yang tak terbaca, dan yang dapat mengembalikannya menjadi data asli adalah pihak yang memiliki kode dekripsi yang benar.

 

Enkripsi (at rest/in transit) adalah proses yang wajib, tapi kunci enkripsi, manajemen akses, dan konfigurasi jauh lebih menentukan. Dan yang berbahaya, sebagian perusahaan percaya bahwa dengan melakukan enkripsi, data otomatis terlindungi sepenuhnya.

 

Faktanya:
Enkripsi memang wajib, namun bukan segalanya. Banyak insiden keamanan bukan karena lemahnya algoritma enkripsi, melainkan karena salah konfigurasi (misalnya akses publik terbuka) atau kredensial yang bocor. Keamanan cloud butuh kombinasi enkripsi, manajemen akses ketat, serta pengawasan identitas pengguna.

 

Mitos: Kalau Ingin Aman, Biayanya Harus Mahal

Seiring berkembangnya jenis serangan siber yang semakin sulit terdeteksi, maka kebutuhan akan peningkatan keamanan juga turut meningkat. Perusahaan mulai memikirkan ulang cara mengelola kompleksitas operasional TI, terutama dalam hal keamanan jaringan, manajemen akses, serta analisis keamanan – menyoroti prioritas perusahaan dalam melindungi infrastruktur. Timbul anggapan bahwa keamanan cloud hanya bisa dicapai dengan biaya tinggi.

 

Faktanya:
Teknologi modern seperti Identity & Access Management (IAM) dan Cloud Native Application Protection Platforms (CNAPP) memungkinkan perusahaan meningkatkan keamanan dengan cara yang lebih efisien. Dengan pendekatan tepat, keamanan tidak selalu harus mahal. Justru cloud bisa membantu mengurangi biaya operasional sambil meningkatkan perlindungan data

 

  1. Identity dan Access Management (IAM) 

Perusahaan wajib mengelola skenario manajemen akses apabila menggunakan teknologi dengna sistem hybrid cloud dan platform pihak kertiga. Kerangka awal timbulnya zero trust, untuk memastikan bahwa hanya pengguna yang tepat dengan izin yang sesuai yang dapat mengakses informasi sensitif perusahaan. 

  1. Cloud Native Application Protection Platforms (CNAPP) 

Hasil dari berkembangnya strategi cloud yang semakin matang, dengan membuat platform terpadu yang dapat mengintegrasikan berbagai solusi keamanan untuk melindungi aplikasi cloud-native. Dengan ini perusahaan dapat melindungi seluruh keamanan cloud secara full stack atau dapat dikatakan perlindungan menyeluruh yang tertintegrasi dalam 1 kendali. .

 

Mitos: Pakai Satu Cloud Lebih Aman

Banyak perusahaan berpikir bahwa dengan mengandalkan satu penyedia cloud (single cloud), kompleksitas keamanan akan berkurang. Nyatanya, ancaman modern tidak mengenal batas platform. Single cloud bukan berarti lebih aman—justru bisa menciptakan risiko baru seperti vendor lock-in, single point of failure, dan keterbatasan fleksibilitas dalam menghadapi insiden.

 

Faktanya:
Single cloud bisa menimbulkan risiko baru, seperti vendor lock-in atau single point of failure. Karena itu, banyak perusahaan kini mengadopsi strategi multi-cloud atau hybrid cloud untuk alasan resiliensi dan compliance.

 

Di Indonesia, tren multi-cloud dan hybrid cloud semakin meningkat karena alasan resiliensi, compliance, dan kebutuhan best-of-breed. Misalnya, satu cloud dipilih untuk performa dan skalabilitas, sementara cloud lain untuk kebutuhan data residency atau workload spesifik.

 

Namun, dengan sistem multi-cloud, tantangan keamanan juga meningkat: 

  • Identitas & akses: Perlu identity federation dan kontrol CIEM (Cloud Infrastructure Entitlement Management) untuk mencegah over-privilege lintas platform. 

  • Network security: Perbedaan arsitektur jaringan tiap cloud butuh policy orchestration agar aplikasi atau sistem berjalan beraturan. 

  • Visibility: Log, monitoring, dan deteksi ancaman harus terpusat agar tidak ada blind spot

  • Compliance: Mapping regulasi (UU PDP, OJK, ISO 27001) tetap harus konsisten meski data/workload tersebar di banyak cloud

 

Tantangan multi-cloud memang lebih kompleks (identitas, jaringan, compliance), tapi dengan pendekatan zero trust dan policy-as-code, keamanan tetap bisa konsisten.

 

Kesimpulan 

Mitos keamanan cloud sering membuat perusahaan ragu bertransformasi. Padahal, dengan pemahaman shared responsibility, penerapan kontrol identitas dan data yang ketat, serta kepatuhan pada regulasi lokal seperti UU PDP, cloud justru bisa lebih aman daripada on-premises.

 

Di tahun 2025, ancaman siber di Indonesia semakin kompleks — mulai dari ransomware, kebocoran data, hingga salah konfigurasi. Namun, dengan strategi yang tepat, cloud dapat menjadi pondasi keamanan yang tangguh sekaligus mendukung efisiensi bisnis.

 

CBNCloud hadir sebagai mitra terpercaya untuk membantu perusahaan Anda membangun postur keamanan cloud yang kokoh, dengan dukungan infrastruktur sesuai regulasi, tim lokal berpengalaman, dan layanan terkelola 24/7.

 

Hubungi tim CBNCloud hari ini untuk konsultasi keamanan cloud dan temukan bagaimana strategi yang tepat dapat melindungi aset digital sekaligus mempercepat transformasi bisnis Anda.